Rabu, 24 Agustus 2011

Cintaku Nyasar di Om Dava


“Ma, Tya itu cinta sama om Dava. Tya slalu merasa nyaman didekat om Dava. Tapi kenapa sekarang mama bilang om Dava calon ayah tiri Tya?. Mama tau ini sangat menyakitkan buat Tya…” kalimat terakhir yang aku ucapkan ke mama sebelum aku pergi dari rumah. Setelah berdebatan hebat itu aku memutuskan ke kost Kak Sely teman yang pernah aku kenal di halte sekolah. Kak Sely sangat baik pada ku walau aku masih anak kelas dua SMP tapi dia sangat mengerti aku. Gak seperti mama, yang slalu mentingin dirinya sendiri. Gak pernah mendengarkan curhatku, beda dengan Kak Sely yang dengan sabar mendengarkan segala keluh kesahku. Setaip pulang sekolah aku selalu menyempatkan untuk datang ke kost kak Sely. Kadang haya sekedar megantarkan martabak kesukaan Kak Sely.

“ Tya, masih tetap dengan pendirian mu tidak mau pulang?”. Kak Sely membubarkan lamunanku tentang Mama. Segera ku seka air mata yang tersisa dipipiku. Aku tak igin Kak Sely melihat aku menangis. Aku tak mau menambahi beban hidupnya. Biasa di tamping disini aja aku dah seneng.

“ Kak Sely kapan pulangnya? Kok tya gak lihat masuknya?”. Jawabku mengalihkan pembicaraan. Kak Sely malah tersenyum sambil meletakkan tas ranselnya di lemari buku.

“Gimana kamu bisa tau, tak amati sedari tadi kamu hanya memandangi langit diluar sana dari candela. Tya, apa kamu gak pulang aja?. Mama kamu pasti cemas kamu sudah dua hari gak pulang dan sekolah. Kak Sely yakin mama Tya pasti cemas mencari kamu”. Kak Sely membelai rambutku mencoba merayu agak aku mau pulang. Tapi hati ku sugguh masih terluka karna kebohongan mama dan om Dava. Air mataku tiba-tiba mencair lagi mengingat kejadian itu. Dan kini bener-bener tidak bisa aku sembunyikan dari Kak Sely.

“ Kak Sely gak ngrasain jadi aku sich. Sakit banget kak dibohongi. Om Dava ngedeketin aku biyar bisa menikah dengan mama. Sedangkan mama tau aku gak mau punya ayah tiri. hiks..hiks.. Dan yang lebih menyakitkan kenapa haruh timbul rasa cinta sama Om Dava”. Setelah dua hari aku hanya diam kini Ku coba ceritakan alasan mengapa aku kabur dari rumah disela-sela isak tangisku.

“Tya, walau kak Sely gak pernah merasakannya tapi Kak Sely bisa mengerti perasaanmu. Wajarlah kalau sekarang kamu kecewa, karna kejadiannya gak pernah kamu bayangin. Tapi mau sampai kapan Tya menghindar dari masalah ini?” Kak Sely dengan sabar memberikan penjelasan untukku. Memang benar kata Kak Sely. Tapi harusnya mama yang minta ma’af sama aku dan meminta aku pulang. Tapi….

“ Mama gak mungkin nyari aku Kak!. Nyatanya dari kemarin mama gak hubungin aku. Mama sekarang pasti lagi asik sama Om Dava. Mama gak pernah perduli denganku kak.” Hiks hiks hiks…air mataku tempah berlinangan dan semakin sesak relung hatiku. Seperti ada pesau yang mencabik-cabik menjadikan luka yang terperi. Ku lihat Kak Seli semakin khawatir denganku. Mungkin dia merasa iba dan bersalah telah mengingatkan aku tentang kejadian itu.

“ Ya sudah, kamu istirahat aja dulu. Kakak ngerti perasaanmu. Paling tidak nanti kamu kasih kabar ke mama kalau kamu baik-baik saja. Dan harus kamu ingat Tya, bisa saja apa yang kamu rasakan ke Om Dava hanya rasa saying yang selama ini kamu rindukan dari sosok seorang ayah. Tapi kak Sely gak memaksamu untuk pulang. Kost kak Sely akan selalu terbuka untukmu.”

Kak Sely pun meninggalkan aku. Ku coba rebahkan tubuhku di tempat tidur yang tak selebar dikamarku. Tpi setidaknya cukup untuk berdua, walau kadang gak bisa bergerak. Ku ingat lagi kata-kata kak Sely. Memang ada benarnya apa yang dikatakannya, bisa jadi apa yang aku rasain hanya karna kerinduanku terhadap seorang ayah. Karna memang dari usia ku tujuh tahun saat aku masih duduk di kelas dua SD, ayahku meninggal karena sakit paru-paru yag di deritannya. Dulu aku hanya bisa melihat rumahku banyak orang menangis dan aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku tau mama slalu bilang ayah pergi kesurga yang indah. Mama membesarkanku sendirian, dan itu pasti sangat berat karna harus membanting tulang untuk kehidupan kita. Tiba-tiba muncul rasa kawatir sama mama dan rasa menyesalpun melintas sesaat. Cepat-cepat aku ambil Hand Phone ku, dua hari aku gak ngecek HP ternyata batrainya low. “ pantas mama gak ada menghubungiku, ternyata karena HPku mati” gumamku dalam hati. Dan akhirnya aku memilih pinjam telpon yang terletak di meja dekat pintu kamar Kak Sely. Kutekan nomor HP mama, disini ada rasa takut, malu, dan kawatir, bahkan rasa genksi Ikut berperan dalam diriku. Setelah menunggu akhirnya nyambung juga.

“Hallo…!”

Degg…

Terdengar suara seorang laki-laki disebrang sana.

Awalnya aku berfikir lebih baik aku tutup saja, tapi aku urungkankan karna aku mengenali suara itu bahkan sangat lekat. Itu suara Om Dava.

“Om Dava? Mama mana om? Kok telpon mama Om yang bawa? Mama lagi dimana Om?” tanyaanku memburu. Ada pikiran negative terhadap Om Dava. Jangan-jangan mama kenapa-kenapa. Om Dava tetap bungkam.

“Om jawab, mama dimana? Aku mau bicara sama mama”. Semakin aku tak sabar. Tak lama kemudian Om Dava pun bersuara.

“Tya, kemana saja kamu? Mama kau sangat panic. Dan…” suara Om Dava berhenti.

“Dan… apa om?” tanyaku lebih panik.

“ Saat mamamu ingin mencarimu, mama terjatuh dari tangga. Dan sekarang kritis di Rumah Sakit Dr.Soetomo. Om telah mencoba menghubungimu tapi HP mu slalu tak aktif. Ma’af kan Om tidak bisa menjaga mama mu.” Kata-kata Om Dava menyesali.

“Harusnya aku Om yang menjaga mama. Aku yang bersalah, aku yang nyebabin mama seperti ini.” Air mataku meledak tak beratiran. Ragaku seakan tak bernyawa.

“Aku akan segera kesana om.” Langsung ku letakkan gagang telpon dengan paksa masuk ketempatnya. Segera ku ambil jaket dan tas yang terletak di sebelah ranjang tempat tidur. Terlihat Kak Sely menonton tv di ruang tamu. Terkaget melihatku yang panik.

“Kak Sely, Tya pergi dulu. Mama masuk rumah sakit.”

“Tya, aku anterin ya?” tawaran kak Sely degan rasa kawatir pula.

“Kak Sely nanti nyusul aja, gak jauh kok dari sini.”

Aku tak ingin di antar karna aku harus segera sampai di rumah sakit. Sedangkan sudah pasti Kak Sely harus ganti baju dulu. Tak sabar bila aku harus menunggu dia ganti. Berlari aku ke jalan raya dan langsung menyetop taxi yang kebetulan lewat. Pas dengan kebutuhan, seperti di senetron tv. Sekitar lima belas menitan sampai di rumah sakit yang aku tuju.

“ambil saja kembaliannya” kataku pada sopir taxi. Aku tak unya waktu panjang menunggu kembaliannya. Ku dekati petugas informasi yang sedang asik membaca Koran. “apa tidak lihat dirumah sakit ini butuh keseriusan.” Gerutuku dalam hati.

“Sus, Ibu Herda di rawat di kamar apa?”Tanyaku sambil melotot, tujuanku agar segera di carikan.

“Tunggu sebentar ya mbak.” Jawab suster itu enteng. Di ceknya di computer yang ada dihadapannya.

“ Di kamar Melati mbak. Dari sini lurus trus belok kanan.” Suster menunjuk arah yag dimaksut.

“ makasih sus”. Jawab ku singkat dan aku pun berlari kecil agar cepat sampai di kamar melati. Terlihat Wajah Om Dava yang pucat pasi di depan kamar tempat mama dirawat.

“Keadaan mama giman Om?” Tanya ku. Tapi Om Dava hanya membungkam diri. Akhirnya aku pun memilih untuk langsung masuk. Mama terlihat sangat lemah, diwajahnya banyak selang-selang alat medis yang aku tak mengerti gunanya apa saja. Dan sepertinya itu gak penting buat aku ketahui, yang terpenting dengan alat itu mama bisa tertolong. Kupeluk dank u cium pipi mama yang masih belum sadar.

“Ma, ini Tya. Ma’afin Tya ma. Mama jangan tinggalin Tya.” Bisik ku di telinga mama. Aku berharap mama mendengar suaraku dan cepat terbangun. Tapi usahaku sia-sia. Ku dekap tangan mama yang tak berdaya. Setetes air mata pun terjatuh ditangan mama. Sungguh menyesal aku telah kabur dari rumah, menyesal karna tidak mendengarkan penjelasan mama. Beberapa menit di dalam kesunyian, hanya teriakan pikiranku yang menyalahkan diri sendiri.Om Dava mendekatiku, dibelainya rambutku penuh kasih saying. Dan terlintas kata-kata Kak Sely. “mungkin ini yang dimaksud kak Sely kasih saying ayah”. Pikirku dalam hati.

“Kamu yang sabar ya? Berdo’a minta tuhan yang terbaik. Biar mama mu cepat sembuh.”

“Om, aku merasa bersalah. Ini karenaku. Aku yang nyebabin...hu..hu..hu..!” tangisku meledak lagi.

“Bukan kamu Tya, Om yang salah. Harusnya Om tidak meminta mama mu untuk menikah dengan om.” Om Dava menarik nafas dalam, seperti ada hal yang mengganjal dan sukar di ceritakan.

“Mama mu pernah bilang, dia mau menikah lagi kalau laki-laki itu bisa di terima putrinya. Makanya Om Dava mendekatimu agar kamu merasa nyaman dulu dengan kehadiran Om. Mungkin cara Om salah. Om tidak menjelaskannya dulu.” Pernyataan Om Dava semakin membuat aku merasa malu.

“Om juga tidak salah, Tya aja om yang salah mengartikan kedekatan kita. Mungkin ini seperti apa yang dikatakan Kak Sely bahwa ini hanya rasa rindu pada sosok ayah. Ma’afin aku ya om?. Aku mau Om jadi ayah Tya.” Aku pun sedikit mengembangkan senyumku kea rah Om Dava.

“Terima kasih Tya. Om sangat mencintai mama mu.” Om Dava mencium tangan mama yang masih terkulai.

Semenjak itu aku menjadi lebih dewasa, lebih bisa mengerti permasalahan hidup. Karna memang aku tidak boleh egois. Mama ku juga butuh kebahagian. Tak adil bila keegoisanku mamaku harus menggadaikan kebahagiaannya. Aku dan Om Dava pun bergaintian menjaga mama, sehari kemudian mama pun siuman. Namun luka di kepala mama belum sembuh total sehingga belum di izinkan pulang. Mama terlihat lebih bersemangat karna mendengar aku sudah menerima Om Dava menjadi calon suami mama yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar