Malam
ini adalah malam menjelang pernikahan Zilla. Jangankan bahagia yang ia rasakan.
Nyeri diujung ulu hatinya. Sesak disetiap tarikan napasnya. Bahagia yang pernah
ia gambarkan menjelang pernikahan tak lagi mampu ia gambarkan saat seperti ini.
Pernikahan yang akan ia jalankan untuk seumur hidupnya. Andai saja ia menikah
dengan laki-laki yang dicintainya, sudah pasti ia bahagia. Esok adalah hari
dimana ia akan berkorban jiwa dan raganya demi orangtuanya.
“Tak
inginkah kamu melihat Ibu dan Bapakmu ini bahagia Nduk!” ucapan Ibu Zilla yang
dianggapnya bukan sebuat pertanyaan, bukan juga pilihan, tapi penekanan agar ia
menuruti perjodohannya dengan seorang pengusaha yang baginya lebih pantas
menjadi ayahnya.
Ucapan
Ibunya terus-terusan menggema di dinding-dinding gendang telinganya. Gemanya
menyedot seluruh pusat sarafnya. Zilla meringkuk memeluk lututnya di sudut
tempat tidurnya. Air mata tak henti membanjiri pipi yang berminggu-minggu tanpa
polesan make up. Sesekali ia memegangi kepalanya. Menjampak sekuat-kuatnya
mencoba menyingkirkan rasa sakit di kepalanya efek gema ucapan ibunya.
Angin
bersama hujan berdendang tak beraturan seolah merasakan sakit yang ia rasakan.
Hujan yang menambah rasa rindu yang meluap pada Refo~laki-laki yang teramat
sangat ia cintai. Ritme dendangnya pun berubah semakin kencang. Menghempas daun
candela kamarnya.
Ia
pun beranjak menyentuh daun candela yang bergetar karna hempasan angin yang
bertiup kencang. Dibukanya perlahan. Ditatapnya malam yang pekat berselimut
hujan yang begitu deras hingga titik-titik air dapat ia rasakan menghempas
wajahnya.
Terlihat
samar-samar bayangan seorang laki-laki menghampirinya. Debaran jantungnya kian
tak beraturan saat ia sadar ternyata Refo yang menghampirinya. Bibirnya masih
terkatup rapat. Hanya derai air mata yang luruh di hadapan Refo. Dibelainya
wajah teduh lelaki yang ia cintai. Betapa ia tak ingin meninggalkan dan
terlepas dari Refo.
“Zilla,
pergilah bersamaku. Kita tinggalkan semua. Hiduplah bersamaku selamanya Zilla.
Aku tak sanggup melihatmu terluka, apa lagi meninggalkanmu untuk selamanya”
Refo mengulurkan tangannya. Berharap Zilla merengkuh tangannya dan pergi
bersamanya.
Zilla
masih bungkam tak sanggup mengungkapkan apapun. Ia hanya mampu menganggukkan
kepalanya pelan. Diraihnya tangan Refo. Zilla melompat dari candela dan berlari
menembus derai hujan bersama Refo.
Hujan
masih terus memburu dengan rinainya. Angin tak henti meniupkan hawa dingin
kesekujur tubuh Zilla dan Refo. Mereka menembus jalanan yang begitu lengang.
Zilla menengadahkan tangannya dan menatap langit yang begitu pekat. Membiarkan
derai hujan jatuh lepas kewajahnya. Merasakan tetesnya lepas bersama butiran
air matanya. Inilah pilihan yang membuatnya lega. Mengikuti kata hati dengan
sepenuh jiwanya.
Catatan: Karya ini pernah memenangkan kuis yang diadakan Handoko T. Zainsam ( http://www.facebook.com/handoko.f.samudji?ref=ts&fref=ts ) ; penulis Love in Anomaly dan
kumpulan puisi Ma'rifat Bunda Sunyi. Kuis tersebut di selenggarakan di group CK Writing (Writing Studies) http://www.facebook.com/groups/356682831011368/?ref=ts&fref=ts
kumpulan puisi Ma'rifat Bunda Sunyi. Kuis tersebut di selenggarakan di group CK Writing (Writing Studies) http://www.facebook.com/groups/356682831011368/?ref=ts&fref=ts
Tidak ada komentar:
Posting Komentar